News Post

Amenangi Jaman FOMO: Membaur tapi Tak Hanyut ala Ranggawarsita

Sejarah

Tiap kali kita menyebut nama Ranggawarsita, di lapisan masyarakat manapun di Jawa, mulai dari obrolan ringan di sebuah petang oleh para pelanggan angkringan, sampai dengan diskusi serius berpeluh-peluh yang digelar para akademisi, tentu asumsi kita akan segera mengkait-kaitkannya dengan bermacam-macam ramalan. Maklum saja, selain tokoh raja Jayabaya “legendaris” (bukan “historis”), pujangga Jawa kelahiran 1802 ini sering juga disebut sebagai Nostradamus van Java. Beberapa ramalannya, tak bisa dipungkiri, menunjukkan daya waskita yang tinggi. Pun termasuk ramalannya soal kemunculan wewe putih yang akan mengusir penjajah pada tahun lawon sapta ngesthi aji (1877 Jawa--1945 Masehi), jarang dibantah orang, bahkan diamini dengan segala hormat. Namun, kadang-kadang kita lupa bahwa Raden Ngabehi Ranggawarsita III, demikian gelar resminya, adalah sosok yang lebih besar dari itu. Ia bukan sekadar penyair yang --kebetulan-- diberi kekuatan clairvoyance oleh Tuhan. 

Dalam sisi-sisi kebudayaan Jawa yang lain, Ranggawarsita dikenal sebagai seorang pujangga renegade, pujangga pemberontak. Sejak dari zaman kakek buyutnya, Yasadipura I, klan Pengging tempat ia lahir dikenal sebagai gudang para penulis produktif, cerdas, dan sekaligus tajam; Statusnya sebagai abdi-dalem dan pujangga kerajaan tak menghalangi mereka untuk menulis pujasastra yang berbunga-bunga dan memikat, namun di sisi lain juga mengkritik kondisi sosial kemasyarakatan di sekitarnya dengan cara yang “menampar” namun tetap anggun, dan kadang-kadang juga humoris walaupun penuh kepahitan. Sikap hidup yang sedemikian ini, tentunya, tak cuma memanen kekaguman, tapi juga membuat pusing beberapa kalangan yang sempat berurusan dengannya. Para filolog dan juru-basa Belanda, yang memang dibekali dogma soal “filologi Alkitabiah” yang berusaha mencari teks original dari sebuah tema sampai semurni-murninya, tentu akan meradang melihat karya-karya klasik diresepsi dan diterjemahkan lagi sesuai semangat zamannya (bahasa kerennya: direaktualisasi) oleh keluarga pujangga-santri ini hingga agak jauh dari konteks asalnya, dan bahkan sampai pada giliran Ranggawarsita III alias Bagus Burhan, beberapa teks bahkan dianggap sebagai ‘kanvas’ untuk menuangkan goresan warna-warnanya sendiri. Tentu bukan cara ngawur sebagaimana yang pernah dikemukakan beberapa akademisi, namun cara-cara yang dilakukan ini kadang lebih ‘nyufi’ dan ‘nyeniman’ daripada ‘ngakademisi’, sebagaimana yang diharapkan para cendekiawan pada saat itu, yang terpesona pada bangunan ilmu sebagai menara gading yang formalistik dan ndakik-ndakik. 

Salah satu karya Ranggawarsita yang cukup mengejutkan dunia kesusasteraan Jawa di paruh kedua abad ke-19 yang penuh pencarian terhadap romantisme dan keadiluhungan masa lalu, adalah Kalatidha, yang secara kasar bisa diterjemahkan sebagai “Zaman Samar”, alias waktu-waktu penuh kegamangan. Karya sastra yang, bisa dibilang, cukup noir di tengah-tengah musim gilang-gemilang pencarian atas keluhuran masa lalu yang adiluhung ini, konon terbit di ujung-ujung usia Ranggawarsita. Sebagian menganggap bahwa serat ini adalah sebuah parodi dan satire dari Serat Centhini yang terbit kurang lebih setengah abad sebelumnya, di antaranya dengan mengubah bait tentang kebesaran Sultan Agung: ratune wali kalipah, menjadi ratune ratu utama, dan seterusnya, sampai kepada sebuah punchline yang menohok: parandene tan dadya/paliyasing kalabendu ([walaupun rajanya baik]…namun tidaklah menjadi|penawar bagi zaman penuh kemurkaan|…). Sebagian lagi menganggap bahwa bait-bait Kalatidha adalah gubahan yang terlampau berani untuk ukuran zamannya. Di tengah-tengah absolutisme kuasa Raja (yang, tentu saja, sudah dipreteli perlahan-lahan oleh para ‘penguasa yang lebih tinggi’: VOC, kekaisaran Napoleon, kerajaan Inggris, dan akhirnya di bawah pemerintahan Hindia-Belanda), Ranggawarsita lantang menggugat. 

Kiranya, apa yang digugat Ranggawarsita melalui duabelas bait Sinom yang dikarangnya? Sebagian mengira, bahwa Kalatidha ditulis oleh pujangga ini sebagai bentuk kekecewaan akibat pangkatnya yang tak kunjung naik, sebab raja yang baru (PB IX) memandangnya sebagai anak dari biang kerok tertangkapnya sang ayah, Pakubuwana VI (walaupun sebenarnya ayah Ranggawarsita pun, Sastranagara, tidak pernah berkhianat kepadanya; ia dibuang ke Fort De Kock, Sumatera Barat, dan konon tewas setelah ditenggelamkan di lepas pantai Jakarta), dan di sisi lain Ranggawarsita juga “anak emas” Pakubuwana VII, dan dengan menyingkirkannya berarti menghapus pula jejaring “orang-orang lama” di Keraton (lihatlah bait pinudya dadi pangarsa|wekasan malah kawuri|| ‘diharapkan jadi pemimpin| namun malah dicampakkan|…). Sebagian lagi menyangka bahwa Kalatidha dikarang di tengah kondisi Keraton yang sudah kronis: walaupun Pakubuwana IX digambarkan sebagai raja utama, namun pejabat-pejabat di sekelilingnya banyak yang gemar meniupkan hoax (bebaratan ujar lamis), menyingkirkan orang-orang yang jujur (wong ambek jatmika kontit), sehingga membuat ‘derajat kewibawaan kerajaan menjadi hilang’ (mangka darajating praja| kawuryan wus sunyaruri|…). Gugatan Ranggawarsita ini, kadang-kadang banyak dibaca orang sebagai sebuah penglihatan profetik, akan kedatangan sebuah zaman yang penuh kegamangan, jaman edan, yang mencapai titik kulminasinya pada bait ketujuh yang sangat populer. Sementara itu, sebagian orang yang lain, tanpa mengurangi rasa hormat kepada Ranggawarsita, menganggap karya ini sebagai refleksi sang pujangga pada zaman yang sedang ditinggalinya. Sebuah zaman ketika pujangga tak lagi berarti, sementara sekolah-sekolah Eropa dengan kurikulum ‘modern’nya mulai tumbuh dan mencetak cendekia-cendekia yang sedang ‘gandrung’ kepada kawruh baru yang dianggap sebagai perwujudan zaman “Pencerahan”. Jika kita melihat karya ini dari dua perspektif tersebut, pada akhirnya bagaimanapun karya Ranggawarsita yang tergolong sangat pendek dibandingkan karya-karyanya yang lain ini tetap punya makna besar bagi kehidupan kita, bahkan tidak cuma untuk orang Jawa saja, melainkan nyaris semua jiwa yang sedang berjuang untuk bertahan di tengah-tengah periode penuh ketidakpastian, kala ingkang tidha-tidha ini.

Lalu, apakah zaman ini bisa kita katakan sebagai salah satu puncak Kalatidha itu? Barangkali, tergantung bagaimana kita merasakan dan menganggapnya. Kita tidak perlu memungkiri, bahwa saat ini kita hidup di zaman yang barangkali belum pernah kita bayangkan lima atau sepuluh tahun yang lalu. Dan kita pun tak dapat mengelak, bahwa pasca-pandemi yang dielu-elukan sebagai the Great Pause beberapa tahun yang lalu, kita lahir menjadi pribadi-pribadi yang sebagian, atau sama sekali berbeda. Mungkin kurang bijak untuk menentukan titik tolak pembicaraan kita kali ini dari sebuah periode yang masih samar-samar pengaruh dan dampaknya untuk segala segi kehidupan ini, namun di tengah rabaan tentang keremang-remangan zaman, kita menemukan bahwa ada pola-pola lain yang muncul, menyebar, dan menjadi sebuah kemafhuman bersama. 

Pola-pola ini, barangkali secara gagah dan keren bisa disebut sebagai pola-pola Post-truth. Pola-pola pasca-kebenaran, tentu saja kebenaran yang dianggap ‘objektif’ dan ‘jumhur’ dalam kacamata akal sehat dan logika. Apa yang dianggap sebagai kebenaran adalah apa yang tampak, apa yang ‘memuaskan’ ego kita, dan apa yang mau kita percaya. Maka dari dalam keadaan inilah kemudian muncul yang pseudo-pseudo, alias yang ‘ala-ala’, entah itu pseudo-ilmiah, pseudo-sejarah, sampai dengan pseudo-religius dan pseudo-kebatinan, yang kadang-kadang diwedar tanpa dasar, namun langsung kita makan mentah-mentah, walaupun terkadang setelah kita ‘ketahuan’ kita langsung akan berlindung di balik topeng ‘hanya iseng saja’ atau ‘hanya senang-senang saja’, tanpa mau bertanggungjawab pada buah pikiran yang--dalam waktu yang singkat atau lama--kelak akan menjadi jejak digital yang cukup merepotkan, terutama kalau Anda memang bermaksud untuk menjadi tokoh nasional. 

Salah satu fenomena yang muncul dari zaman Kalatidha ini, jika kita menyepakati bahwa Post-truth merupakan padanan darinya, adalah fenomena FOMO (Fear of Missing Out) dan YOLO (You Only Live Once), yang dengan segera menjadi bagian, bahkan telah menyatu dan menjiwai sebagian besar perilaku kita, bangsa Nusantara yang (katanya) memiliki kepribadian dan budaya yang luhur. Ketika saya sedang menulis tentang hal ini, saya lalu teringat kurang lebih duapuluh tahun yang silam, ketika tsunami Aceh--dan kemudian gempa Yogya-- terjadi, mendadak sontak beberapa televisi swasta kemudian menginisiasi gerakan Citizen Journalism. Warga pun, idealnya, bisa menjadi seorang jurnalis, untuk menangkap fenomena yang terjadi di sekitarnya dengan lebih fokus dan terbidik. Tentu saja, hasil korespondensi dari warga tersebut, ketika masuk ke televisi mendapatkan penanganan lebih dulu dari redaksi, sehingga apapun yang tersaji di media pada dasarnya hanya menambah porsi representasi realitas yang lebih bottom-up, alih-alih gaya komunikasi masa lalu yang mencoba mengendalikan jurnalisme dengan cara-cara yang top-down. 

Waktu pun bergulir, konvergensi media berjalan sangat pesat. Kehadiran ponsel pintar dengan segala kedigdayaannya: merekam video, menyebarkannya lewat MMS, bahkan beberapa aplikasi tambahan memungkinkannya untuk dapat ditambahi narasi atau disunting secara mandiri, menjadikan level produksi pesan beralih, dari lembaga-lembaga media bermodal besar ke individu-individu yang punya akses cukup, baik secara gawai, kuota, maupun jejaring. Kehadiran media sosial (social media) sebagai sarana interaksi antarmanusia secara virtual, pada gilirannya, juga mau tak mau akan ditarik ke arah pergulatan wacana yang lebih besar dan krusial daripada awal-awal waktu diciptakannya. Saya ingat, bahwa pada waktu saya masih SMA, media sosial masih dipakai untuk lucu-lucuan, bercanda dengan teman, atau sekadar saling sapa handai taulan. Facebook bagi generasi almarhum Bapak saya, bahkan jadi ajang mempersatukan alumni SMA-nya. Reuni demi reuni, acara demi acara, menjadi meledak dan lebih sering intensitasnya dibanding dekade-dekade lalu. Sebab, dengan media sosial, kenangan masa lalu berupa foto-foto Beliau di masa remaja bersama rekan sekelas bisa muncul kembali dan menjadikan nostalgia bersemi (Saya pun ingat betul, betapa --walaupun dulu sempat dongkol-- mengharukannya momen itu: saya mesti ikut membolak-balik arsip foto lama Beliau untuk difoto ulang, lalu diunggah di laman pribadi beliau untuk sekadar memantik kenangan teman-teman seangkatan). Kurang lebih satu dekade berikutnya, tiba-tiba media sosial mulai membuka dirinya (atau menunjukkan kemampuannya) sebagai sebuah marketplace. Para perajin, pemilik usaha, bahkan para makelar yang tadinya memiliki eksistensi yang nyaris tak terjangkau indera, tiba-tiba muncul menawarkan dagangannya. Tanpa perlu mengeluarkan dana untuk sewa toko, membayar retribusi lapak kaki lima, atau menggaji karyawan, mereka pun menggeliat menggerakkan perekonomian secara mikro--ketika negara sedang sibuk menggagas yang makro-makro. 

Sialnya, seiring dengan hal-hal yang menggembirakan ini, bagian menyebalkannya segera datang: di konten video para penyanyi, sinden, atau dalang lokal, komentar-komentar penuh kebencian dari orang-orang anonim berseliweran. Bahkan, ada juga orang tertentu yang justru memanfaatkan ‘barisan siber’ ini untuk melakukan politik belah bambu: junjung sini, injak sana. Dan kemudian perlahan-lahan objektivitas tentang “apa yang baik” dan “apa yang bagus” menjadi baur. Ukuran dari “baik” dan “bagus”, contohnya dalam bidang seni, bukan lagi soal estetik atau indah. Semakin ia viral, walaupun kontroversial, maka semakin ia dipandang sebagai representasi dari yang “baik” dan “bagus” itu. Dalam hal makanan, kiranya demikian juga: orang berlomba-lomba tak lagi menyajikan yang paling lezat. Rangsangan-rangsangan inderawi yang lebih “murah”, seperti berlomba pedas, berlomba manis, atau berlomba ukuran porsi menjadi strategi untuk mendapatkan pelanggan yang lebih banyak lagi. Soal review, toh, bisa dipesan. Tanpa harus peduli berapa banyak generasi remaja dan kanak-kanak yang kini semakin ringkih sebab ginjalnya, ususnya, atau kadar gula darahnya tak lagi normal akibat termakan FOMO untuk mengkonsumsi berbagai macam makanan-minuman yang di masa lalu mungkin kita labeli sebagai “melampaui batas” (dan ironisnya kita labeli juga pendapat itu sekarang dengan “ketinggalan zaman”). 

Pada kurun yang nyaris sama, kemudian muncul masalah lain: tentunya Pembaca, terutama bagi generasi milenial, pernah tahu, atau pernah iseng-iseng punya akun Path (yang seringkali dipelesetkan di tongkrongan sebagai akronim dari pamer adalah tuntutan hidup)--nyaris serupa dengan Instagram di saat ini. Dari situ kemudian kita mulai paham, bahwa hidup perlu dirayakan. Liburan di lokasi populer, dengan hotel yang mewah dan pemandangan yang fotogenik (sebelum ditemukannya istilah instagrammable) adalah sebuah pencapaian. Dan dari situ pula, kemudian muncul berbagai gejala aneh-aneh yang mulai melanda kita: mulai dari memotret sampul paspor dengan tiket pesawat yang sengaja nyempil di baliknya, sampai dengan mengunggah marka jalanan di luar negeri tanpa caption apa-apa. Dalam peribahasa Jawa, perilaku ini kadang-kadang disindir dengan timbang mati ngantuk, luwung mati umuk---daripada mati mengantuk, lebih baik mati umuk (sombong). Dan pada gilirannya, pamer pun menjadi bahan pokok yang kesepuluh bagi kita, dengan FOMO dan YOLO sebagai dalilnya. 

Kira-kira, apakah fenomena ini juga tidak luput dari tatapan tajam Ranggawarsita? Ternyata, tidak juga. Ia juga menulis sebuah bait yang cukup keras tentang zaman FOMO dan YOLO ini, dengan penekanan pada arep ngedan nora tahan/yen tan melu anglakoni/boya kaduman melik/kaliren wekasanipun (mau ‘menggila’ aku tak sampai hati/ namun jika tak ikut-ikutan/ pasti tak kebagian/akhirnya terasingkan). Oleh sebab zamannya sudah edan, maka fenomena ini pun semakin memuncak dan mengkristal lagi kepada sebuah tataran, ketika di grup-grup WhatsApp orang lebih percaya video-video random; di platform X orang lebih manggut-manggut mendengarkan khutbah para buzzer; di Instagram orang mudah tersulut potongan rekaman tokoh-tokoh agama yang diolah sedemikian rupa untuk menjatuhkan reputasi lawan atau menggoreng isu-isu yang seksi. Dan ini pun kita belum sampai ke tahap pemanfaatan AI, kecerdasan buatan yang semakin lama semakin menyempurnakan dirinya untuk mampu melakukan imitasi kepada semua tindak-tanduk manusia. Ironisnya, justru kitalah, manusia, yang selama ini merasa terancam dengan keberadaan figur-figur “entitas non-manusia” dalam film-film sains fiksi, menjadi sosok pertama yang berbondong-bondong menitipkan “sebagian otaknya” kepada hal yang sama: mulai untuk membantu menulis skripsi sampai menjajah ruang-ruang sakral kehidupan kita, sengaja atau tak disengaja. 

Semakin “ruang-ruang sakral” dalam kehidupan kita itu dikooptasi ke dalamnya, maka semakin lunturlah sakralitas hal-hal yang kita percayai suci; kita bisa mencaci apapun mulai dari tetangga sampai bangsa; kita bisa mendelegitimasi apapun mulai dari sejarah sampai agama; dan kita bisa mengimani apapun, termasuk racauan ngalor-ngidul tak jelas juntrungnya--sepanjang itu segaris dengan apa yang kita inginkan. Padahal, para begawan, Nabi-nabi, para Rasul, orang suci zaman dulu, tak pernah menuruti selera nafsu umatnya. Mereka semua selalu menganjurkan, bahwa dunia bukan untuk ditaklukkan agar menurut kepada kehendak kita. Kitalah yang harus selalu mengambil posisi observant dalam segala gerak dan arus dunia ini, sebab di atas segala pemenuhan nafsu-nafsu badani kita, ada suatu hal lebih luhur yang harus kita capai: Rahayu. Selamat. Husnul Khatimah. 

Bisa dibayangkan, ketika nafsu-nafsu kita terlalu mudah menemukan penyalurannya dan kita tak punya lagi rem --orang Jawa menyebutnya tepa-tepa-- untuk menjaganya agar tak menghilangkan kemanusiaan kita, lantas apa yang terjadi? Bukan tak mungkin, sepuluh, duapuluh, atau malah hanya sekian tahun lagi, apapun yang sifatnya kepercayaan, iman, kapitadosan, kebatosan, hanya dianggap sebagai isapan jempol, dan alih-alih dianggap sebagai candu seperti postulat Marxian, ia dianggap sebagai slilit, yang mengganjal dan mengganggu gigi-geligi kehendak kita untuk mengunyah semuanya. Bermula dari situ, kita pun sampai pada bait lain Kalatidha Ranggawarsita: dhasar karoban pawarta/bebaratan ujar lamis (dasarnya kebanjiran berita/kabar bohong bagaikan angin topan). Dalam bait yang lain pula ia menukil:ing jaman akeh musibat/wong ambeg sarjana kontit (bahwa di zaman yang penuh musibah/orang-orang bijaklah yang kalah). 

Kita tidak dapat memungkiri, bahwa apa yang terjadi saat ini adalah sebuah gerakan zaman yang sangat masif, yang tak mungkin tertolak, sebab ia dimotori oleh perkembangan hawa nafsu manusia yang semakin lama semakin mencari jalan untuk dapat mengaktualisasikan diri, membuktikan bahwa dirinya bisa (rumangsa bisa) dan perlahan-lahan “mematikan” kemampuan untuk dapat berintrospeksi dan berefleksi (bisa rumangsa). Bukan berarti kita harus menolak segala hal yang bersifat kemajuan, keterbukaan, dan kemutakhiran, namun setidak-tidaknya, di akhir hari, kita harus tetap menanamkan dalam-dalam pada benak kita, bahwa betapapun kita adalah manusia. Sosok yang punya dimensi lahiriah dan batiniah, yang dua-duanya harus dirawat dan dipupuk agar kita tak jadi robot yang mengerjakan semuanya dengan mekanis tanpa perasaan, atau semata-mata jadi hewan ternak yang cuma menyumbang angka bonus demografi tanpa ada kualitas apapun.

Dalam akhir Kalatidha, Ranggawarsita menutup bait-bait puisi revolusionernya ini dengan sebuah refleksi yang kelam namun tetap penuh harap:

Sageda sabar santosa/mati sajroning ngaurip/kalis ing reh aruhara/murka angkara sumingkir/tarlen meleng malat sih/sanityaseng tyas mematuh/badharing sapudhendha/antuk mayar sawetawis/BoRONG angGA saWARga meSI marTAya//

(Hendaknya sabar dan tabah/[dapat]mati di dalam hidupnya/[maka] luputlah dari segala huru-hara/menyingkirlah murka dan angkara/[caranya] tak lain hanya memusatkan perhatian dan memohon kasih sayang [dari Tuhan]/ dalam hati senantiasa mengharap/berhentinya malapetaka/dan agak dapat bernafas lega/terserahlah badan ini, [sebab] di akhiratlah yang berisi kehidupan [sejati])

Di situ sang Pujangga berharap,bahwa di tengah-tengah era tanpa tuntunan ini, tiap-tiap orang dapat selalu sabar dan tabah. Namun hal itu bukan berarti apatis, justru merupakan sebuah sikap perlawanan, dengan cara mati sajroning urip: kita berupaya melepaskan segala kemelekatan dan kekhawatiran--bukan dalam pengertian yang fatalistik, namun lebih kepada menjaga diri agar tetap ‘waras’ di zaman yang ‘edan’--- dengan demikian, hati yang bersih dan tenang ini niscaya akan terhindar dari segala tren FOMO dan YOLO tersebut. Kalau sudah begitu, kobaran hawa nafsu akan lebih mudah terpadamkan, dan jalan keluar dari segala permasalahan lebih mudah terbuka. Namun, jikalau semuanya gagal, ingatlah bahwa dunia ini semu. Ada ataupun tidak, ada dimensi “hidup sejati”, apapun istilahnya dan dengan cara apapun ia digambarkan, yang lebih nyata dan harus kita persiapkan kedatangannya.