News Post

Bisakah Mewariskan “Wahyu Keprabon” di Zaman Demokrasi?

Sejarah

Acapkali, ketika dalam sebuah kontestasi pemilihan kepala daerah, kepala negara, atau bahkan dalam konteks yang kecil-kecil semacam menjadi dekan di sebuah Fakultas, atau menjadi lurah di sebuah desa, pemenang ajang tersebut sering dianggap sebagai “kewahyon”, membawa wahyu. Pun juga dengan mereka yang merintis karir sebagai pedagang bakso, penjual batik, sampai dengan penyanyi dangdut dari panggung ke panggung. Apabila mereka kemudian sukses, tentu masyarakat akan menganggapnya sebagai sebuah pertanda kewahyon. Namun ada pula yang berpendapat, bahwa seseorang yang betul-betul kewahyon adalah mereka yang berhasil mengemban amanat tersebut, politis, ekonomis, sampai sosiokultural, dengan selamat sampai pada kurun yang cukup lama. Kewahyon bukan berarti tak pernah tergelincir, sebab memang pada kodratnya manusia adalah tempat kesalahan dan kealpaan bersarang. Namun, orang-orang yang kewahyon, entah bagaimana caranya, selalu bisa menemukan solusi. Atau, yang lebih epik lagi, solusi yang menemukan mereka. Di sisi lain, perlu kita pahami pula bahwa kewahyon itu bukanlah sebuah kondisi permanen. Dalam tahap-tahap tertentu, sesekali ketika orang-orang kewahyon ini lalai, Tuhan mengirimkan berbagai pertanda untuk mengingatkan mereka. Jika peringatan-peringatan itu tidak diindahkan, bukan tidak mungkin wahyu yang bersemayam pada diri mereka akan pergi. Istilahnya dalam bahasa Jawa, koncatan wahyu, atau ora kewahyon. Semending-mendingnya, orang yang sekarang ora kewahyon niscaya “menapak bumi” kembali, sebab kekuatan ilahiah yang mendukungnya mencapai segala sesuatu (sasedyane teka, saciptane dadi) telah padam. Dalam beberapa kasus, kadang-kadang koncatan wahyu disertai pendaratan yang tidak mulus, alias crash landing: seseorang bisa saja merosot derajatnya secara drastis, seperti Pu Yi, kaisar terakhir dinasti Qing yang di akhir hidupnya menjadi seorang tukang sapu jalanan, atau kisah tipikal beberapa pengusaha sukses yang kemudian sepeninggalnya, atau malah sebelum wafatnya, sudah tersiksa lahir-batin menyaksikan kekayaan dan kemegahan yang dihimpunnya perlahan-lahan habis dimakan waktu, tanpa ia bisa mengupayakan sesuatu untuk mencegahnya. 

Istilah kewahyon atau kanggonan wahyu ini menjadi sangat menarik, apalagi jika ternyata orang-orang yang dipandang sebagai penyandang wahyu ini berasal dari kalangan yang atipikal: bukan berasal dari kalangan konglomerat, atau politisi besar, atau bukan keturunan pengusaha sukses dan orang kaya, yang dalam istilah orang Solo-nya dikenal sebagai “wong gal-gendhu” atau “balung gajah”.  Kemunculan dan keberhasilan mereka dalam menapaki karier apapun dipandang sebagai campur tangan ilahiah, Deus ex machina, yang dengan demikian mengakibatkan segala sesuatu yang dicapainya menjadi established dan legitimate, sebab Tuhan sendirilah yang memberikannya kepada umatNya yang terpilih. Namun apabila kita meninjau lebih jauh tentang konsep wahyu dalam kebudayaan Jawa, kita dapat melihat bahwa fenomena ini sejatinya berlapis-lapis, dan memiliki akar kesejarahan yang sangat luas, jauh dari sederhana untuk menjelaskan apa dan bagaimana wahyu itu bisa terjadi, terdistribusi, dan bekerja dalam realitas kehidupan masyarakat Jawa. 

Kata wahyu sendiri, berasal dari bahasa Arab yang berakar dari kata auha atau yuhi, yang berarti “isyarat yang diberitahukan dengan cepat dan tersembunyi”, nyaris sama dengan inspirasi atau ilham. Secara khusus, yang membedakan wahyu dengan inspirasi dan ilham adalah sumbernya, yakni wahyu, tidak bisa tidak, berasal dari zat Ilahiah, baik Tuhan sendiri maupun perantara-Nya, yang dalam tradisi Abrahamik diwakili oleh malaikat Jibril atau Gabriel, dan dalam mitologi Jawa sering direpresentasikan dalam bentuk Batara Narada atau dewa-dewa lainnya. Dalam mitologi Yunani pun, Hermes berperan sebagai agen yang sama, yang dengan demikian menyebabkan bahwa konsep wahyu, walaupun terminologinya dari bahasa Arab, namun fenomenanya bersifat universal. 

Dalam konteks ke-Jawa-an, wahyu sendiri agak bergeser pemaknaannya. Ia dipahami sebagai sebuah amanat Ilahiah, yang tidak selalu berlabuh pada diri para Nabi yang kemudian memformulasikannya menjadi pesan-pesan (risalah). Nabi-nabi yang berperan sebagai pengurai dan penyampai formulasi ini kemudian disebut sebagai Rasul, yakni “utusan”, maksudnya orang-orang yang menyampaikan secara terbuka tugas perutusannya kepada umat manusia yang di-momong atau diasuhnya. Dengan demikian, peran Rasul bagi orang Jawa tak ubahnya Sang Pamomong, yang seringkali disimbolkan sebagai tokoh Semar, alih-alih para pendeta atau ksatria dalam wayang purwa. Konsep wahyu sebagai amanat Ilahiah yang tidak selamanya bermuara pada syariat agama dapat dilihat dalam Serat Centhini karangan Pakubuwana V beserta para pujangga Surakarta (1815 Masehi). Dalam manuskrip tersebut, dijelaskan bahwa dalam pandangan orang Jawa dikenal adanya tiga macam wahyu, yang disebut sebagai wahyu kukumah, wahyu wilayah, dan wahyu nurbuwah. Secara etimologis, hal tersebut dapat diterjemahkan secara bebas sebagai berikut: kukumah atau hikmah diberikan pada mereka yang “diamanati” kekuasaan, yakni para raja dan pimpinan dalam organisasi apapun; wilayah adalah anugerah bagi mereka yang menjadi penjaga syariat, yakni para wali dan cerdik cendekia; sementara wahyu Nurbuwat adalah wahyu untuk mereka yang dinobatkan sebagai Nabi kekasih Allah, yang orang lain tidak mampu menerimanya. Wahyu, pada galibnya, kemudian menjadi sumber legitimasi politis, intelektual, maupun religius bagi masyarakat Jawa yang memang sedari dulunya adalah masyarakat yang sangat mempercayai metafisika dan spiritualitas sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupannya. 

Ketika kita berbicara tentang wahyu dalam konteks saat ini, maka yang sering menjadi perbincangan dan bahan rebutan, tak lain adalah wahyu kukumah, yang memang wahyu “duniawi”. Tak ayal, para bangsawan, ksatria, dan raja Nusantara, lebih-lebih lagi tanah Jawa, seringkali berkompetisi, bahkan tidak jarang sampai saling menelikung, saling menggempur, dan bahkan saling memusnahkan, untuk dapat menjadi satu-satunya yang patut untuk memangku wahyu kukumah ini. Kompetisi yang berdarah-darah dan melelahkan ini pada gilirannya juga dialami oleh mereka yang berebut menjadi kepala bidang, ingin menjadi seorang lurah, bahkan sedari awal sejak akan masuk menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) pun, tidak jarang orang Jawa, atas inisiatif dirinya atau bimbingan orangtua, berlomba-lomba agar dirinya menjadi orang yang kewahyon. Namun dari situ timbul pertanyaan pula: benarkah yang mereka perebutkan itu adalah wahyu dari Yang Mahasuci? Jika memang demikian, mengapa dalam perjalanannya justru cara-cara yang “tak suci” juga---kadang-kadang--- jadi halal ditempuh untuk mendapatkannya?

Sebelum kita melanjutkan perjalanan kita dalam pengembaraan mencari makna “wahyu”, lebih-lebih wahyu kukumah yang memang seksi bagi para pencari kekuasaan dan kewibawaan dalam berbagai bidang di dunia, kita perlu mengenal pula bahwa dalam dunia kebatinan orang Jawa, di luar sebuah ‘bola’ yang bernama wahyu, terdapat pula pendaran-pendaran atau refleksinya, yang juga tidak kalah menariknya untuk diraih. Pendaran-pendaran wahyu tersebut, di antaranya ada yang disebut pulung, yakni “bakat beruntung” yang bisa menempel kepada orang-orang dari berbagai profesi dan kegiatan, mulai dari bakat sukses berdagang sampai bakat beruntung memenangkan undian; ada pula drajat, yakni “bakat promotif” yang dapat melancarkan karier seseorang lebih cepat dan lebih lancar dibandingkan dengan orang lain dengan upaya dan latar belakang serupa; dan sebagainya. Di samping adanya pendaran-pendaran wahyu tersebut, ada juga pendaran-pendaran “serupa wahyu”, namun untuk hal-hal negatif. Seperti pulung, namun bagi para penjudi supaya menang terus dalam pertaruhannya. Semacam drajat, namun bagi para penjahat agar ditakuti dan bahkan lolos dari jeratan hukum. Dan bahkan, semacam wahyu itu sendiri, namun justru jatuh ke tangan orang-orang yang “tak suci”. Tidak jarang, justru ketenaran, kewibawaan, dan kekayaan yang diberikan melalui pendaran-pendaran negatif ini, justru lebih instan, lebih konkret hasilnya, dan kadang-kadang juga lebih tahan lama. Ialah yang disebut istidraj dalam bahasa Arab, atau yang dikenal orang Jawa sebagai estijrat. Keistimewaan bagi mereka yang jahat, berlaku angkara murka, namun seakan dibiarkan saja oleh alam semesta. Namun biasanya, demikian kepercayaan orang Jawa, para penyandang estijrat ini, entah bagaimanapun jalannya, akan menemui kehancuran dengan cara yang kadang-kadang para pelakunya sendiri tidak menduga. Jika pulung,drajat, dan bahkan estijrat banyak menyentuh hal-hal yang lebih konkret dan profan dalam kehidupan sehari-hari, wahyu, lebih-lebih wahyu kukumah, lebih transendental. Ia menjadi semacam bintang pemandu bagi mereka yang menjalani amanah sebagai apapun. Ia menjadi semacam balok penyangga bagi mereka yang mencoba tegak berdiri mengatasi apapun. Dan ia juga menjadi tongkat penuntun bagi mereka yang menyusuri jalan amanah ini dengan penuh ketulusan dan kerendahhatian. 

Budaya populer orang Jawa, sayangnya, seringkali agak belepotan merumuskan perihal wahyu ini dengan mulus dan mudah kepada masyarakat awam. Agaknya karena pemahaman epistemologis soal wahyu ini berhenti dalam naskah-naskah karya para pujangga yang terbatas peredarannya. Atau, karena mungkin masyarakat tak punya kesempatan untuk mengikuti kelas-kelas terbatas yang diadakan para raja, lebih-lebih para raja-mistikus seperti Pakubuwana IV, IX, dan X, di musala pribadinya yang disebut Panepen (“tempat menyepi”). Atau juga barangkali karena feodalisme dan kultur monarki yang membuat masyarakat kemudian “tahu diri”untuk tidak mengutik-utik masalah wahyu tersebut, agar harmoni terus terjaga dan stabilitas terus berlangsung--suatu hal yang jika terjadi di masa kini, tentu akan diprotes sebagai kondisi status quo. Wahyu--dengan demikian, diimajinasikan sebagai benda-benda yang kasatmata dalam pelbagai lakon pertunjukan. Dalam ketoprak, wahyu Keprabon atau “wahyu kerajaan” turun dengan nama Gagak-Emprit, di dalam air kelapa muda yang tadinya disiapkan oleh Ki Ageng Giring namun tahu-tahu diserobot oleh Pemanahan; dalam wayang, wahyu pamomong bisa juga tampil dalam wujud  seekor  ayam, yang dibawa Petruk untuk Kresna dalam lakon Wahyu Sri Cemani; atau dalam kasus-kasus lain yang tersebar dalam tradisi tutur maupun babad di masyarakat, wahyu kadang-kadang dianggap bisa bertempat pada tiga biji kurma yang dibawa dari Mesir sebagai hadiah bagi Pakubuwana IV (yang kemudian diceritakan memiliki tiga orang anak yang semuanya menjadi raja), atau hinggap pada pucuk kemaluan Amangkurat II dalam bentuk cahaya, yang pada waktu dimandikan jenazahnya kemudian melesat masuk ke mulut Pangeran Puger. Lebih dalam lagi, sekali wahyu hinggap pada seseorang, lebih-lebih wahyu Keprabon atau “wahyu kerajaan”, hal tersebut dianggap sebagai “berkah genealogis”, yang kemudian secara berkelanjutan dan berkesinambungan berpengaruh juga pada keturunan-keturunan sang penerima wahyu, yang kemudian dianggap sama bertuahnya dengan sang leluhur sebab ia juga dianggap kewahyon. 

Namun apakah benar demikian pandangan Jawa tentang wahyu Keprabon, yang menyangkut hajat hidup orang banyak ini? Rasa-rasanya, mungkin kita harus kembali melihat lagi pada naskah-naskah dan piwulang kuna, untuk tidak terburu-buru menjatuhkan vonis yang bisa saja kemudian menumbuhkan stigma negatif tentang “Jawa” yang sedang kita bicarakan dan bahas bersama. 

Dalam manuskrip-manuskrip susastra Jawa Kuna, rasa-rasanya tema tentang wahyu belum terlalu menonjol, apalagi wahyu keprabon. Walau demikian, jejak-jejak tentang keberadaan “raja yang terpilih” ini bisa kita lihat misalnya pada prasasti Ciaruteun dari zaman Tarumanagara (abad V Masehi) yang menjelaskan bahwa Purnawarman, raja terbesar dari kerajaan ini, adalah “titisan” Wisnu; Pararaton dari abad XVI Masehi juga mulai merekam legitimasi yang didapatkan oleh Rajasa (Ken Angrok) dan keturunannya sebagai penguasa Jawa Timur, dan kemudian Majapahit yang meliputi wilayah Nusantara. Biarpun masa muda Angrok digambarkan bengal dan beringas, namun bagaimanapun, sebab adanya “wahyu” yang dibawanya (dengan cara menikahi Ken Dedes--ataupun dari lambang cakra dan sangkha milik Batara Wisnu di kedua telapak tangannya) maka ia berhak, dan memang patut menjadi penguasa tanah Jawa dibanding raja-raja lainnya. Dus, kedua ilustrasi tersebut menjadi jalan masuk untuk kita memahami bahwa fenomena wahyu keprabon ini bisa jadi merupakan sisa-sisa paradigma purbakala tentang seorang pemimpin yang mesti primus inter pares, yang terbaik dan utama di antara sesamanya. Setelah masuknya Hindu dan Buddha, kecenderungan ini kemudian berasimilasi dengan konsep inkarnasi (awatara) dan campur tangan dewa-dewa, sehingga sang penerima wahyu dianggap sebagai tak ubahnya “titisan” para dewa dalam agamanya masing-masing. 

Ketika Islam datang, konsep titisan tak lagi dikenal. Ia membutuhkan sebuah jalan masuk lain untuk dapat memproduksi lagi narasi tentang legitimasi dan hegemoni politik yang mengesahkan dan mengokohkan kekuasaannya. Maka, wahyu keprabon cenderung tampil sebagai suatu hal yang genealogis, dan oleh karenanya juga terwariskan, sebab siapapun yang lahir dari garis “penerima wahyu” ini otomatis akan mendapat bagian berkah (kesawaban) atas anugerah Ilahiah yang diterima leluhurnya sebagai penjamin kekuasaan dan kewibawaan yang dimilikinya. Babad Tanah Jawi, kendatipun juga mengamini hal tersebut, namun juga memberi beberapa ilustrasi yang menarik lewat cerita-cerita legenda yang dihimpunnya sebagai bagian dari sejarah untuk mbabadi, “menerangkan”, kegelapan masa lampau--dan oleh karenanya karya sastra sejarah ini disebut babad: Kuasa sah Prabu Pamekas dari Pajajaran bisa digulingkan oleh Siyungwanara, anaknya yang terbuang; Brawijaya dari Majapahit harus mengakhiri garis raja-raja Jawa yang diembannya di tangan Raden Patah, anaknya dari seorang putri Tionghoa; dan bahkan, dinasti Raden Patah sendiri bisa berakhir di tangan Jaka Tingkir, seorang pemuda sederhana “yang katanya” masih keturunan Majapahit--dan pada gilirannya Jaka Tingkir pun harus mengakhiri tahta Pajang setelah timbul orang kewahyon lainnya, yakni Sutawijaya yang memulai babad Mataram. Semua itu terjadi ketika wahyu Keprabon berpindah ke tangan mereka yang --di mata sejarah-- lebih layak untuk mendapatkannya, dan meninggalkan pemilik sebelumnya dalam keadaan tersubordinasi atau bahkan tereliminasi sekalian dengan cara koncatan wahyu atau ora kewahyon.

Ketika pada akhirnya Republik Indonesia diproklamasikan dan seorang Presiden menjadi kuasa tertinggi melebihi raja-raja Nusantara, beberapa kerajaan barangkali “kaget”, dan perlu waktu untuk menerima bahwa wahyu Keprabon berpindah ke Jakarta, sebuah kota yang dalam tradisi Babad digambarkan sebagai daerah yang sangat Kemlanda-landa, berbeda dengan Keraton yang sangat Jawa. Namun untuk mengatakan bahwa raja-raja ini kemudian koncatan wahyu, kita perlu sangat berhati-hati. Bahkan jika kita melihat pada sejarah revolusi kemerdekaan Indonesia, justru sangat menarik untuk disimak bahwa para pemimpin Republik justru ngempek eyom, “berteduh” di bawah naungan wahyu Keprabon yang pada saat itu berada di tangan Hamengkubuwana IX dan Paku Alam VIII, duet raja Jawa yang masih tersisa sepeninggal nama-nama besar Pakubuwana X, Hamengkubuwana VIII, dan Mangkunagara VII pada zaman “penjajahan”. Pada peringatan ulangtahunnya di masa senja, Sri Sultan Hamengkubuwana IX dengan cermat, dan juga cerdas, kemudian meluncurkan sebuah buku yang menjelaskan elaborasi konsep wahyu Keprabon dalam kacamata pandangnya: “Tahta Untuk Rakyat”. 

Ketika kita telah beralih dari Keraton-keraton ke Republik, dan masyarakat pun kini telah memiliki hak pilih dan dipilih sebagai amanat undang-undang dan pelaksanaan demokrasi, kemudian barangkali pertanyaan tentang relevansi Wahyu Keprabon juga terus meruak. Apakah saat ini Wahyu Keprabon masih berfungsi? Apalagi saat-saat sekarang, kondisi politik bangsa yang penuh anomali masih terus terjadi. Apakah peran Wahyu Keprabon sebagai penjamin wibawa dan kuasa secara genealogis masih berjalan sebagai mestinya? Sebab, pada saat ini politik pun jadi sangat dinamis. Kita tidak pernah benar-benar tahu, apa yang akan terjadi esok hari, sebab apapun bisa sekonyong-konyong berlaku di depan kita. Singkatnya, saat ini kalau kita berbicara tentang Wahyu Keprabon, rasa-rasanya ia telah merosot dari suatu bahan kursus dan tujuan laku spiritual para pembesar bangsa menjadi sebatas obrolan penuh omong-kosong di warung kopi. Wibawa tak lagi perlu, karena sekarang uang lebih laku. Cukup dengan flexing bahwa telah memiliki aset melimpah-ruah, dengan mudah seseorang bisa disebut jadi Sultan--bahkan bagi mereka yang sebenarnya, secara standar moralitas dan intelektual, sangat dekaden. 

Namun jauh sebelum fenomena ini terjadi, Mangkunagara VII (1917-1944) sebagai seorang raja-budayawan, pernah mencoba memformulasikan sebuah lakon wayang yang berjudul Wahyu Makutharama. Dalam karya yang diadaptasi dari Serat Partawigena atau Kakawin Parthayajna itu, beliau mencoba berbicara kepada kita bahwa yang disebut “Mahkota Rama” itu, bukanlah fisik. Bukan tutup kepala dari emas dengan taburan berlian pada jamangnya. Namun, yang dianggap sebagai mahkota dari raja Rama yang terkenal itu, adalah delapan merit atau keutamaan yang harus dipegang seorang pemimpin, yang populer dengan sebutan Astha-brata, yang semula merupakan ajaran Rama kepada Barata, adiknya. Secara cerdas, Mangkunagara VII mengubah konteks lakon ini menjadi zaman Mahabharata, ratusan tahun setelah Rama tiada, sehingga penekanan tema lakon ini bukanlah pada aristokrasi maupun birokrasi, namun lebih kepada meritokrasi, yakni tuntutan untuk meningkatkan kapasitas bagi diri seorang pemimpin, agar ia menjadi seorang yang patut kewahyon. Maka dalam lakon ini kita dapat melihat jelas, bahwa Karna yang datang dengan para Kurawa bersenjata lengkap, dan bahkan sudah menyiapkan suap untuk Begawan Kesawasidi sang perantara wahyu, dipermalukan sampai habis. Sementara Arjuna yang hanya diantar tiga panakawannya, Semar, Gareng, Petruk--karena pakem Mangkunegaran saat itu memang tidak mengenal Bagong--dari permulaan yang sederhana dan laku yang sangat asketis, justru berhasil mendapatkannya. Akhir dari lakon ini pun juga cukup paradoks: Duryudana dan Kurawa, kendatipun gagal mendapat wahyu, namun tetap hidup mewah di Hastina. Duryudana tetaplah raja, dan tahta yang digenggamnya terus lestari sampai robohnya ia akibat hantaman gada Bimasena. Arjuna? Ia tetap kembali sebagai figur ksatria yang terus mendukung Yudhistira, kakak sulungnya, untuk tetap bertahta mengayomi seluruh Pandawa. Tak sekalipun terpikir dalam dirinya untuk aji mumpung, mentang-mentang mendapat wahyu, untuk mengkudeta sang kakak sulung. Namun, sebagai orang yang kewahyon, ia berkesempatan untuk mengasuh dan membesarkan sosok Prabu Parikesit, seorang raja yang diramalkan kehadirannya sebagai pengakhir perang Baratayuda, yang pada saat itupun Arjuna tidak menyangka bahwa ratu adil itu akan datang dari keturunannya sendiri. 

Di tengah-tengah alam demokrasi sekarang ini, wahyu Keprabon, sebagaimana amanat Mangkunagara VII, tampil dalam hakikat kewahyuannya sebagai bintang pemandu, sebagai balok penyangga, dan juga tongkat penuntun. Dengan demikian, jika parameter-parameter ini yang dipakai untuk mengukur apakah seseorang itu kewahyon atau tidak, menjadi semakin jelas. Dan kalau sudah begitu, kita jadi bisa menyimpulkan, sebenarnya di tengah hiruk-pikuk dunia yang kebanjiran informasi ini, siapa yang sebenarnya kewahyon, dan siapa yang jangan-jangan saat ini sedang menikmati estijrat. Yang jelas, bahwa kepekaan bangsa kita untuk sekadar melihat kehadiran wahyu Keprabon ini --tidak usah jauh-jauh bermimpi untuk mendapatkannya dahulu kalau sekadar hanya untuk mempercepat giliran duduk di kursi empuk--memang perlu diasah kembali. Kemampuan inilah yang kemudian menjadikan kita semakin bening dan jernih menentukan pilihan kita, bukan semata-mata pilihan oportunistik dan transaksional yang menjamin “kita dapat apa”, namun pilihan dewasa yang turut menentukan “kita jadi apa”.